28 Aug 2023
579
Busana tak sekedar bungkus tubuh semata yang melindunginya dari berbagai unsur lingkungan yang berbahaya. Namun busana dapat mencerminkan karakteristik dan asal usul daerah si pemakainya. Dengan kata lain busana juga berfungsi menjadi penanda identitas seseorang. Urgensi busana sebagai identitas diri inilah yang memunculkan ide untuk membuat rancangan busana adat daerah Purworejo.
Sebuah tim beranggotakan 10 orang sejarawan maupun budayawan dibentuk guna melakukan penelitian dan merumuskan rancangan busana adat tersebut. Akhirnya pada tahun 2003 busana adat Purworejo mulai dibakukan.
Oteng Suherman, salah satu anggota tim berujar, ”Metoda utama yang pakai dalam merancang busana adat ini adalah dengan membandingkan antara gambar atau foto busana orang Jawa pada akhir abad 19 , gambar Bupati keempat Purworejo RM Soegeng Cokronegoro IV, gambar relief di candi Borobudur dan candi Prambanan".
Lebih lanjut Oteng menuturkan jika dahulu kala daerah Purworejo terkenal dengan nama Tanah Bagelen yang terpecah belah karena politik penjajah Belanda. Sebagian masuk wilayah kraton Solo dan sebagian yang lain menjadi wilayah kraton Yogyakarta. Oleh sebab itu, busana adat Purworejo dinamakan busana Bagelenan yang desainnya merupakan perpaduan antara busana adat Solo dengan busana adat Yogyakarta namun tetap menyelipkan unsur kekinian.
Adapun citra yang ditampilkan dalam rancangan busana ini adalah jati diri masyarakat Purworejo sebagai masyarakat yang relijius, toleran, prihatin, temen- tumemen (memiliki kesungguhan), membangun, gotong-royong, setia dan kesatria.
Secara umum model busana Bagelenan sama dengan model busana adat Jawa kebanyakan, terutama busana untuk perempuan, yakni kebaya biasa. Yang hendak lebih ditonjolkan adalah model busana Bagelenan untuk laki-laki, khususnya model busana keprajuritan atau kemiliteran mengingat sejarah Purworejo yang dulu merupakan daerah operasi militer di mana sering menjadi tempat berkecamuknya perang.
Model busana laki-laki Bagelenan sedikit berbeda dengan busana adat laki-laki gaya Solo, maupun Yogya. Perbedaannya terletak pada penutup kepala. Pada busana adat Solo dan Yogya penutup kepalanya menggunakan blangkon, sedangkan penutup kepala pada busana Bagelenan adalah destar atau ikat kepala dari kain batik.
Meski hanya berwujud ikat kepala, namun destar busana Bagelenan dibuat tertutup bagian atasnya. Selain itu juga memiliki jebehan dan ornamen kuncung. Jebehan adalah ujung destar yang menjuntai di sisi kanan-kiri bagian belakang.
Sementara kuncung yang berbentuk segitiga terletak di tengah-tengah bagian depan. Destar berkuncung umumnya dikenakan oleh laki-laki yang sudah menikah. Kemudian di atas kuncung ada tempat untuk aksesoris bros. Tetapi pemasangan bros pada destar bukanlah suatu keharusan. Di bagian samping kanan-kiri destar terdapat pula ornamen lipatan-lipatan kain (wiron) sederhana.
Lebih detailnya busana laki-laki Bagelenan terdiri dari 3 bagian. Pertama, penutup kepala , yakni destar sebagaimana keterangan tersebut di atas. Kedua, penutup badan bagian atas yang berupa baju sikepan atela. Baju sikepan atela adalah baju jas dengan belahan tengah berkancing emas atau perak dan tanpa hiasan benang bordir emas.
Baju atela ini ada 2 macam jenisnya, yaitu atela landhung(panjang) dan atela krowakan. Apabila dalam berbusana ingin juga mengenakan keris, maka sebaiknya memilih baju yang atela krowakan karena pemakaian baju jenis ini ketika digabung dengan bagian bawahanya memang menyisakan ruang untuk menyelipkan keris.
Ketiga, penutup badan bagian bawah yang meliputi celana, kain batik , pengikat kain dan alas kaki. Untuk celana, bisa memakai celana panjang atau celana pendek tiga per empat tergantung situasi yang dihadapi. Jika situasi formal, seperti hendak menghadiri undangan acara tertentu, maka lebih tepat mengenakan celana panjang. Tetapi jika hanya untuk busana sehari-hari di rumah, maka memakai celana pendek tidak masalah.
Selanjutnya celana tersebut dilapisi dengan kain batik sapit urang yang separuh bagiannya yang berwiron menjuntai sampai ke bawah lutut pemakai. Perlu diingat bahwa bawahan busana laki-laki Bagelenan dengan celana berlapis kain batik Sapit Urang berwiron ukel kadal menek adalah model busana bagi kalangan muda (kaneman) dan keprajuritan. Sedangkan busana bawahan bagi kalangan tua(kasepuhan), yaitu hanya kain batik saja yang dipakai secara penuh memanjang hingga sampai mata kaki. Lalu pengikat kain yang berfungsi mengencangkan kain adalah hal yang tak boleh terlupakan.
Ada 4 macam pengikat kain ini, yaitu tali pengikat, stagen, sabuk atau lonthong, dan ikat pinggang atau epek dengan timangnya. Kemudian untuk alas kaki dapat menggunakan selop atau sandal terompah, maupun sepatu bertali biasa atau sepatu pantovel. Terompah biasanya digunakan oleh kalangan kasepuhan, sementara kalangan kaneman dan kalangan keprajuritan lebih cocok memakai sepatu pantovel.
Busana laki-laki Bagelenan nampak semakin mempesona dengan tambahan beberapa assesoris, antara lain kalung ulur-ulur atau karet, rantai jam bandul, bross kalung, bross destar dan insight lambang Kabupaten Purworejo.Tetapi dalam pemakaian assesoris harus memperhatikan soal keserasian dan kepantasan. Oleh sebab itu, tidak semua assesoris mesti dipasang sekaligus. Pilih assesoris sesuai keperluan dan gunakan sewajarnya saja.
Mengenai warna busana sebenarnya bebas sesuai selera masing-masing orang . Namun warna resmi yang dibakukan untuk Busana Bagelenan adalah warna ungu. Oteng menjelaskan,” Ungu itu bahasa Jawanya Wungu yang juga memiliki makna bangun atau bangkit dari tidur.Harapannya dengan filosofi ini masyarakat Purworejo segera bangkit dan terus bergerak membangun demi teraihnya kemajuan yang dicita-citakan”.
Busana adat laki-laki Bagelenan pada dasarnya sederhana dan sangat praktis. Tak lain karena destar yang dapat dilipat dan dimasukkan ke dalam saku baju atau celana, sehingga sewaktu-waktu memerlukannya bisa segera digunakan. Semisal seorang pegawai yang baru pulang kantor, dia bisa langsung tampil dengan gaya busana Bagelenan tanpa harus berganti baju terlebih dulu. Tinggal memakai destar lalu kain batik untuk melapisi celana seragam yang telah dikenakan. Itu pun sudah sah dianggap berbusana ala Bagelenan.
Karena busana Bagelenan merupakan salah satu penanda identitas jati diri Purworejo layaknya sebuah KTP, sosialisasi pemakaiannya pun terus digencarkan. Tetapi menurut Oteng yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah para pejabat tinggi, terutama kepala daerah.
”Kalau bupati memberikan contoh, mau mengenakan busana Bagelenan minimal pada saat menghadiri event-event kebudayaan lokal, maka seluruh jajaran pemerintahan di bawahnya otomatis akan mengikuti. Kemudian berkembang ke masyarakat luas, termasuk kalangan anak muda. Bagaimana masyarakat bisa bangga terhadap busana adat daerah mereka sendiri , jika pemimpin mereka saja cuek dan tidak bangga menggunakannya?”
Penulis: Sri Widowati (Reviens.id)
28 Aug 2023
579
09 Oct 2023
290
17 Oct 2023
241
02 Sep 2023
223